The International Conference of Asian Scholars (ICAS) ke-13, menyajikan beragam acara menarik.
Salah satunya adalah pemutaran film “The Missing Ox: Collaborative Practices in Studying and Documenting Deathscapes in Contemporary Indonesia”, di Museum Etnografi dan Pusat Kajian Kematian, Kampus B Dharmawangsa, Universitas Airlangga (Unair), Rabu (31/7).
Rita Padawangi selaku produser menjelaskan, film ini bercerita tentang ritual ngaben massal yang dilakukan di Banjar Taman Kaja, Ubud, Bali. Ritus yang terlaksana setiap lima tahun itu kembali dilaksanakan pada tahun 2022, saat COVID-19 mulai mereda.
“Film ini juga merupakan proyek kolaborasi, dengan waktu produksi di Juli-Agustus 2022. Bali mulai membuka kembali sektor pariwisata mereka, namun kondisi ekonomi masih belum bagus. Sehingga terdapat perubahan dalam Ngaben Masal 2022 di Banjar Taman Kaja,” jelasnya.
Rita menuturkan, tujuan dibuatnya film dokumenter ini adalah untuk mengabadikan momen dan juga sebagai bahan ajar bagi publik.
Menurutnya, banyak masyarakat yang ‘kurang gaul’ terhadap budaya Bali. Ia pun mengakui sebelum memproduksi film itu. Hanya tahu bahwa Ngaben itu hanya dilakukan perseorangan. Ternyata ada juga Ngaben massal.
“Malah justru hampir semua orang Bali itu ngabennya massal. Yang sendiri-sendiri itu, hanya keluarga kerajaan dan orang-orang kaya. Serta para pandita nggak boleh ngaben massal,” ungkapnya.
Ngaben massal di Banjar Taman Kaja, terpaksa harus mengalami perubahan. Yang mana, seharusnya memakai ‘petulangan’ atau kendaraan mayat dalam bentuk binatang). Berubah menjadi ‘tabla’, berupa kotak peti sederhana yang terbuat dari kayu. Keputusan itu juga harus melalui diskusi bersama dalam Banjar.
“Konsepnya kan sangat komunal. Ada semangat kolektif dan juga demokrasi lokal. Karena semua keputusan harus diambil bersama. Jadi ada proses voting, yang melibatkan sekitar 150 keluarga. Saat voting, harus ada perwakilan dari setiap keluarga,” tuturnya.
Rita juga menegaskan, tidak semua riset itu keluarannya berupa publikasi jurnal. Belum tentu publikasi jurnal itu berguna bagi masyarakat yang diteliti.
“Dokumenter juga bisa menjadi kenang-kenangan. Sekaligus pengingat bagi masyarakat, bahwa mereka pernah berada di titik itu,” ungkapnya.
“Harapannya, para peneliti juga bisa memikirkan kanal-kanal diseminasi riset mereka. Yang bisa juga bermanfaat untuk masyarakat luas bukan hanya untuk akademisi sendiri,” pungkasnya.