Dalam upaya memperkuat literasi keagamaan lintas budaya, Institut Leimena menjalin kerjasama strategis dengan Universitas Nahdlatul Ulama Surabaya (Unusa).
Kerjasama ini ditandai dengan penandatanganan Memorandum of Understanding (MoU) dalam acara Studium Generale bertema “Education Priorities and Religious Literacy In Globalizing And Intensely Religious World”, yang diselenggarakan secara hybrid di Auditorium Lantai 9 Tower Unusa Kampus B Unusa, Minggu (14/7).
Acara ini menjadi momentum penting bagi kedua institusi dalam mengabdikan diri kepada masyarakat dan bangsa Indonesia. Sebab, MoU yang ditandatangani mencakup pengembangan pemahaman dan penerapan literasi keagamaan lintas budaya.
Tujuan utamanya adalah untuk meningkatkan kapasitas komitmen bangsa Indonesia dalam relasi dan kerjasama antar umat beragama di tengah dinamika nasional dan global.
Director Institut Leimena Matius Ho, menyampaikan apresiasinya kepada Unusa atas kerjasama yang terjalin.
“Kami sangat berterima kasih kepada Unusa yang telah bersedia bekerjasama dengan Leimena Institute. Komunikasi sangat penting dalam membangun masyarakat, dan agama sebagai dasar moral harus menjadi pijakan. Literasi keagamaan lintas budaya ini akan membawa suara baru yang menjadi unsur kedamaian bagi umat manusia,” ujarnya.
Dia menambahkan, Institut Leimena dan Unusa mengajak semua pihak untuk turut serta dalam upaya menyukseskan program literasi keagamaan lintas budaya. Hal ini demi tercapainya perdamaian dan kerja sama yang lebih baik antar umat beragama.
“Kolaborasi ini juga mencerminkan komitmen kedua institusi dalam memperkuat perdamaian dan kerja sama antar umat beragama di Indonesia dan dunia. Dengan pemahaman yang lebih baik tentang literasi keagamaan lintas budaya, diharapkan dapat tercipta masyarakat yang lebih harmonis, toleran, dan inklusif,” ungkapnya.
Sementara itu, Rektor Unusa Prof. Dr. Ir. Achmad Jazidie, M.Eng., mengungkapkan kesiapan institusinya dalam menyukseskan program-program yang berkaitan dengan literasi keagamaan lintas budaya.
“Unusa siap merancang dan melaksanakan program-program yang akan memperkaya pemahaman antar umat beragama, khususnya dalam bidang literasi budaya,” tegasnya.
Jazidie menambahkan, kerjasama antara Institut Leimena dan Unusa ini diharapkan dapat menjadi tonggak penting dalam mempromosikan literasi keagamaan lintas budaya di Indonesia.
Program internasional bersertifikat yang diadakan oleh Institut Leimena akan memperkenalkan literasi keagamaan lintas budaya untuk guru sekolah, madrasah, dan pondok pesantren.
“Hal ini diharapkan dapat meningkatkan pemahaman dan penerapan literasi keagamaan yang lebih inklusif dan mendalam di kalangan pendidik sekolah, madrasah, dan pondok pesantren,” ungkapnya.
Acara Studium Generale ini juga menghadirkan dua narasumber utama yang memberikan wawasan mendalam mengenai pentingnya literasi keagamaan dalam konteks global.
Voice President G20 Interfaith Forum (IF20) Prof. Katherine Marshall, menjadi narasumber pertama yang membahas tantangan dan peluang dalam mengintegrasikan literasi keagamaan ke dalam pendidikan.
“Sebanyak 84% warga dunia terafiliasi dengan agama tertentu. Oleh karena itu, kita perlu mengawal hal ini bersama-sama dengan melibatkan agama secara strategis di berbagai sektor,” ungkapnya.
Prof. Marshall menyoroti pentingnya literasi keagamaan yang berbeda bagi setiap profesi.
“Literasi keagamaan ini merupakan isu yang banyak dibicarakan, dan setiap orang membutuhkan pemahaman yang berbeda tergantung profesinya. Ini adalah tantangan yang harus kita selesaikan bersama. Kita harus berpikir bahwa literasi keagamaan di tingkat pemangku kebijakan sangat penting untuk menyelesaikan isu ini,” jelasnya.
Dalam pertemuan G20 baru-baru ini, topik agama dibahas dalam berbagai konteks, termasuk dialog antaragama, penghormatan terhadap keyakinan agama yang beragam, dan upaya untuk mendorong perdamaian global.
Forum Antar Agama G20 menyediakan platform bagi para pemimpin agama untuk mendiskusikan kontribusi komunitas agama dalam pembuatan kebijakan global dan pencapaian tujuan G20.
Diskusi tersebut menyoroti pentingnya dialog antaragama sebagai sarana untuk menjembatani kesenjangan budaya dan agama, yang sangat penting untuk mencapai pembangunan berkelanjutan dan perdamaian.
Director Muslim-Jewish Relations di American Jewish Committee, Dr. Ari Gordon, menjadi narasumber kedua yang membahas pentingnya komunikasi antara komunitas Muslim dan Yahudi.
“Ada banyak kesamaan antara ajaran Yahudi dan Muslim yang tertuang dalam kitab suci mereka. Kita harus membangun jembatan komunikasi untuk menyelesaikan permasalahan yang ada dan memberikan perdamaian,” katanya.
Dr. Gordon menekankan tiga kompetensi utama dalam literasi keagamaan, yakni personal, komparatif, dan kolaboratif.
“Tiga kompetensi tersebut sangat penting bagi masyarakat untuk meningkatkan pemahaman terkait literasi keagamaan. Salah satu contohnya, kompetensi kolaboratif untuk memberi wawasan, khususnya melindungi masyarakat minoritas seperti Muslim dan Yahudi di Amerika. Dengan berkolaborasi, kita bisa menyelesaikan berbagai tantangan yang dihadapi oleh warga dunia,” pungkasnya.